BAB
1
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Terdapat
beberapa masalah yang sangat kompleks mengenai kebijakan perdagangan yang
paling sesuai bagi kebutuhan-kebutuhan pembangunan negara-negara dunia ketiga
atau negara-negara yang sedang berkembang.Kebijakan-kebijakan tersebut meliputi
kebijakan pembangunan yang berorientasi keluar dan ke dalam.
Menurut
rumusan Paul Streeten dalam Todaro & Smith (2006:142), kebijakan-kebijakan
pembangunan yang berorientasi ke luar (outward
looking development policies) adalah suatu rangkaian kebijakan yang tidak
hanya mendorong berlangsungnya perdagangan bebas tetapi juga memungkinkan
pergerakan secara bebas atas faktor-faktor produksi (tenaga kerja, modal, dan
sebagainya), perusahaan-perusahaan dan para pelajar, perusahaan-perusahaan
multinasional, dan suatu sistem komunikasi yang terbuka.Dan sebaliknya,
kebijakan-kebijakan pembangunan yang berorientasi ke dalam jauh lebih
menekankan pada pentingnya usaha-usaha negara-negara berkembang untuk menciptakan
suatu pendekatan pembangunan mandiri yang benar-benar sesuai kebutuhan dan
aspirasi pembangunannya agar mereka lebih mampu mengendalikan atau menentukan
nasibnya sendiri.
Dalam
makalah ini kami akan membahas tentang kebijakan-kebijakan pembangunan yang
berorientasi ke dalam (inward looking development policies) dimana merumuskan
strategi substitusi impor.
Berdasarkan
permasalahan di atas, maka makalah ini mengambil judul “Strategi
Substitusi Impor”.
1.2
Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar
belakang di atas, makalah ini memiliki rumusan masalah sebagai berikut.
1) Bagaimana
gambaran umum dari impor?
2) Bagaimana
strategi dalam substitusi impor?
3) Apa
kendala-kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan impor?
4) Bagaimana
kebijakan-kebijakan di bidang impor?
1.3
Tujuan
Pembahasan
Adapun
tujuan pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut.
1) Untuk
mengetahui gambaran umum dari impor.
2) Untuk
mengetahui strategi dalam substitusi impor.
3) Untuk
mengetahui kendala-kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan impor.
4) Untuk
mengetahui kebijakan-kebijakan di bidang impor.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1
Gambaran
Umum dari Impor
2.1.1 Pengertian Impor
Istilah impor berasal
dari makna konseptual untuk membawa barang dan jasa ke pelabuhan suatu negara
(Google, 2012). Dengan demikian yang dimaksud dengan kegiatan impor adalah
suatu kegiatan dalam perdagangan dengan cara membeli atau mendatangkan barang
dari luar negeri untuk dimasukkan ke dalam negeri.
Pengertian
impor menurut Undang-undang Perpajakan adalah kegiatan atau aktivitas
memasukkan barang dari luar wilayah Pabean Indonesia (luar negeri) ke dalam
wilayah Pabean Indonesia. Sedangkan daerah Pabean adalah wilayah Republik
Indonesia yang meliputi wilayah darat, perairan, dan ruang udara di atasnya
serta tempat-tempat tertentu di Zona Ekonomi Eksklusif dan Landas Kontinen yang
di dalamnya berlaku Undang-undang Nomor 10 tahun 1995 tentang Kepabeanan.
2.1.2 Syarat-syarat Menjadi Importir
Syarat
bagi perusahaan untuk dapat melakukan impor adalah (Universitas Kristen Petra,
2012):
1. Harus
merupakan badan hukum.
2. Memiliki
API (Angka Pengenalan Impor) atau APIS (Angka Pengenalan Impor Sementara). Yang
dimaksud dengan Angka Pengenalan Impor (API) adalah kartu pengenal atau
identitas yang sebaiknya dimiliki oleh setiap perusahaan yang melakukan
kegiatan impor.
Untuk
memperoleh APIS (Angka Pengenal Impor Sementara). Hal-hal yang perlu dipenuhi
antara lain:
1. Perusahaan
wajib mengajukan permohonan untuk mendapatkan APIS pada Kantor Wilayah
Departemen Perindustrian Perdagangan setempat.
2. Wajib
memiliki Surat Ijin Usaha Perdagangan (SIUP).
3. Mempunyai
bukti adanya kewajiban Pajak (NPWP).
4. Mempunyai
hubungan dagang dengan luar negeri.
Angka
Pengenalan Impor Sementara ini berlaku selama 2 (dua) tahun. Perusahaan yang
secara terus menerus melaksanakan transaksi Impor, maka dapat mengajukan
permohonan untuk memperoleh API (Angka Pengenal Impor), dengan syarat-syarat
yang harus dipenuhi oleh perusahaan adalah sebagai berikut:
1. Perusahaan
wajib mengajukan permohonan ke Kantor Wilayah Depering setempat.
2. Perusahaan
wajib memiliki APIS.
3. Telah
melaksanakan Impor minimal 4 kali dengan nilai nominal US.$.100.000
4. Tidak
pernah mengingkari atau membatalkan kontrak impor, kecuali karena keadaan
memaksa diluar kemampuan (force majeur).
2.1.3 Kewajiban Pelaporan oleh Importir
Menurut
peraturan yang berlaku, setiap Importir Pemilik atau Pemegang APIS/API
diwajibkan untuk melaporkan hal-hal sebagai berikut:
a) Data
dan informasi mengenai kegiatan impornya apabila diperlukan oleh Departemen
Perdagangan atau pejabat yang berwenang.
b) Setiap
perubahan atas alamat, bentuk badan hukum, pengurus perusahaan, agar
memberitahukan kepada Kakanwil Deperindag untuk penyesuaian pada APIS/API.
c) Penghentian
kegiatan Impor atau penutupan perusahaan, disertai dengan pengambilan API/APIS
nya.
d) Apabila
ditetapkan sebagai Importir Terdaftar (IT), Importir Produsen (IP), atau Agen
Tunggal (AT), Importir harus melaporkan kepada Direktur Impor, Departemen
Perindustrian Perdagangan tentang pelaksanaan Impornya selama 6 (enam) bulan.
2.1.4 Sanksi bagi Importir
Kepada
Importir dapat dikenakan sanksi oleh Departemen Perdagangan, berupa pencabutan
APIS/API, apabila Importir yang bersangkutan:
a. Sedang
dalam proses pemeriksaan di dalam siding pengadilan karena didakwa telah
melakukan tindak pidana ekonomi dll.
b. Tidak
melaksanakan Impor selama masa berlakunya APIS.
c. Tidak
memenuhi kewajiban pembayaran pajak, sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
2.1.5 Barang-barang yang Diatur Tata Niaga Impornya
Terdapat
beberapa jenis barang yang diatur tata niaganya oleh Departemen Perindustrian
Perdagangan, termasuk tata niaga impornya.Dan untuk barang-barang tersebut
hanya dapat di Impor oleh Importir tertentu yang ditetapkan di dalam aturan
tata niaganya. Antara lain bahwa barang tersebut hanya boleh di impor oleh:
M Importir
Terdaftar.
M Importir
Produsen.
M Produsen
Importir.
M Agen
Tunggal yang menjadi Importir.
M Importir
yang ditunjuk.
Untuk
barang-barang yang diatur tata niaganya, Bank Devisa tidak diperkenankan
membuka L/C Impor atau menyelesaikan trasaksi Impor yang diminta oleh nasabah,
sebelum memenuhi ketentuan tata niaga dari barang Impor yang bersangkutan. Dan
Bank Devisa wajib menolak permintaan Pembukaa L/C, jika atau permintaan
penyelesaian suatu transaksi Impor yang diterima dari nasabah yang tidak berhak
mengimpor barang yang diatur tata niaga impornya. Contoh barang- barang yang
diatur tata niaga Impornya antara lain:
ž Tekstil
dan produk tekstil yang dibuat dengan batik/bermotif batik.
ž Garam
yodisasi.
ž Cangkul.
Diantara
barang-barang yang dapat di Impor ke Indonesia, terdapat beberapa jenis barang
yang diawasi mutunya. Pengawasan mutu ini dilakukan oleh Departemen
Perindustrian Perdagangan, dan barang tersebut harus memenuhi Standar
Perdagangan yang ditetapkan oleh Menteri Perindustrian Perdagangan.Pengawasan
mutu barang impor dimaksud dilakukan oleh Departemen Perindustrian dan
Perdagangan dengan cara sebagai berikut:
1. Apabila
pengimporan barang bersangkutan dilengkapi dengan LKPI (Laporan Kebenaran
Pemeriksaan Impor), maka pengawasan mutu barang diserahkan kepada Surveyor
dipelabuhan muat barang bersangkutan denga berpedoman kepada SP yang ditetapkan
oleh Menperindag.
2. Untuk
barang impor yang telah beredar dipasaran, maka pengawasan mutunya dilakukan
oleh Kanwil Deperindag atau Balai Pengawasan Mutu Barang.
3. Untuk
barang-barang tidak memenuhi SP, dan telah beredar dipasaran, maka: = Baarang
tersebut wajib diekspor kembali keluar negeri (direkspor) atau = Importir akan
diberikan sanksi yang diterapkan oleh Menperindag.
Sejak
berlakunya Inpres No.4 tahun 1985, atas barag-barang Impor ke Indonesia wajib
diperiksa Surveyor.Surveyor yang diberikan tugas untuk memeriksa barang Impor
dimaksud ditunjuk sendiri oleh Pemerintah, dan biaya yang diperlukan untuk
pemeriksaan dimaksud ditanggung atau dibayar seluruhnya oleh Pemerintah
Indonesia. Adapun pemeriksaan barang impor oleh Surveyor dilakukan dengan
mekanisme sebagai berikut:
œ Pemeriksaan
barang harus dilakukan di negara atau tempat asal barang.
œ Pemeriksaan
barang harus dilakukan sebelum pengapalan atau pegiriman barang dilakukan.
œ Atas
pemeriksaan barang bersangkutan, harus diterbitkan LKPI (Laporan Kebenaran
Pemeriksaan Impor) oleh Surveyor atau perwakilannya yang melakukan pemeriksaan
barang bersangkutan.
Dan pemeriksaan
barang dimaksud akan meliputi tentang kebenaran akan:
1. Jenis
barang.
2. Mutu
barang.
3. Jumlah
barang.
4. Harga
satuan, harga total.
5. Biaya
tambang atau Freight.
6. Nomor
tarif pos atau nomor HS (Harmonizes
System) atau CCCN.
7. Tariff
Bea Masuk (BM), tariff PPn, PPNBM dan PPh pasal 22.
Barang yang
tidak wajib diperiksa oleh Suveryor antara lain:
1. Barang
dagang dengan nilai atau harga sebesar kurang dari USD.$.5.000,-
2. Barang
pindahan.
3. Barang
diplomatik.
4. Minyak
mentah.
5. Senjata
dan alat perlengkapan ABRI.
6. Bantua
luar negeri yang bersifat hibah kepada pemerintah Indonesia.
ÞWalaupun
tidak diwajibkan bagi Surveyor untuk memeriksanya, namun tetap masih berlaku
ketentuan pemeriksaan leh Bea da Cukai di Indonesia.
2.1.6 Cara Pembayaran di Bidang Impor
Prosedur
impor secara umum antara lain adalah (Hutabarat, 1994) :
1. Importir
menempatkan order pada eksportir.
2. Importir
meminta bank membuka L/C untuk eksportir (Opening
Bank), yang dapat bertindak sebagai paying
bank.
3. Importir
menyelesaikan persyaratan-persyaratan pembukaan L/C pada opening bank.
4. Importir
menerima pemberitahuan bahwa tibanya dokumen-dokumen pengapalan dari opening bank yang dikirim oleh advising/negotiating bank.
5. Importir
mengelesaiakan formulir-formulir impor dan perhitungan-perhitungan asuransi,
bea masuk dan pajak.
6. Importir
melakukan penyetoran pajak, bea cukai, dan lain-lain.
7. Importir
menebus dokumen-dokumen pengapalan dengan melakukan pembayaran, akseptasi pada opening bank sesuai syarat L/C.
Dalam
Ahsjar&Aminullah(2002), sistem atau cara pembayaran Impor di Indonesia
tidak berbeda dengan cara pembayaran yang lazim berlaku di dunia perdagangan
internasional. Dan pembayaran tersebut dapar dilakukan dengan tunai atau secara
kredit. Ada beberapa cara pembayaran antara lain:
1. Advance
Payment (Pembayaran dimuka)
Pembayaran yang dilakukan lebih
dulu sebelum barang dikirim oleh Eksportir, dan perihal ini mengandung resiko
yang cukup tinggi terhadap Importir/ pembeli barang.
2. Letter
of Credit (Kredit berdokumen)
Pembayaran yang cukup aman bagi
kedua belah pihak, baik Importir maupun Eksportir, karena dijamin oleh pihak
Bank, dan pembayaran bagi Eksportir dapat dilaksanakan apabila eksportir telah
menyerahkan dokumen-dokumen yang disyaratkan dalam L/C kepada Paying Bank.
3. Collection
Draft(Wesel Inkaso) dengan kondisi:
Eksportir mengirimkan barang kepada
pihak importer, sedangkan penagihannya dilakukan menggunakan dokumen-dokumen
pengapalan barang yang dikirim. Dokumen-dokumen tersebut biayasanya terdiri
dari Draft, Invoice Bill of Lading dan dokumen lainnya yang pengiriminannya dapat
dilakukan melalui Bank. (Dalam Collection
Draft ini ada 2 kondisi
pembayarannya) sebagai berikut:
a) Document Against
Payment (D/P):
Cara pembayaran ini didasarkan
kepada penerimaan dokumen, yaitu dokumen pengapalan untuk mengambil barang oleh
importer dan begitu pula sebaliknya penyerahan dokumen kepada importer yang
hanya dilakukan apabila pihak importer telah melakukan pembayaran.
b) Document Against
Payment (D/A):
Cara pembayaran ini adalah
didasarkan kepada aksaeptasi atau dengan kata lain penyerahan dokumen (dokumen
pengapalan untuk pengambilan barang), kepada pihak importer setelah importer
mengaksep wesel/draft yang bersangkutan. Dengan mengaksep draft/wesel tersebut
berate importer mengakui hutang dan akan membayar pada saat/tanggal jatuh tempo
sebagaimana yang tercantum dalam wesel/draft tersebut.
4. Open
Account(Perhitungan Kemudian)
Pihak eksportir mengirimkan
barangnya terlebih dahulu, sebelum adanya pembayaran dari importer/pembeli atau
dibayar setelah barang dia terima. Dan cara ini mempunyai resiko cukup besar
bagi eksportir, kalau terjadi importer tidak melakukan pemabayaran.
5. Consigenment
(Konsinyasi)
Adalah penjualan barang titipan, dimana
eksportir mengirimkan barang kepada importer, dan ini merupakan barang titipan
untuk dijualkan.Kalau ada yang laku dijual baru uang tersebut ditransfer ke eksportir.
Perihal
impor dengan tanpa pembukaan L/C, importir mempunyai kewajiban menyampaikan
kepada eksportir dan surveyor di luar negeri. Hal-hal yang diperhatikan antara
lain:
1. Nama
Bank Devisa yang dipergunakan menyalurkan transaksi impornya di dalam negeri.
2. Rencana
Impor Barang (RIB), yang menyebutkan:
§ Jenis
barang.
§ Mutu
barang.
§ Jumlah
barang.
§ Harga
satuan barang.
§ Harga
total barang.
§ Biaya
tambang (freight).
§ Nomor
Tarif Pos (HS).
§ Tariff
Bea Masuk (BM), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penjualan Barang Mewah
(PPnBM), Pajak Penghasilan (PPh) pasal 22, disertai dengan pemberitahuan.
§ Keharusan
pemeriksaan barang oleh surveyor sebelum baranf dikapalkan.
Prosedur impor
barang dari luar negeri dapat dicontohkan sebagai berikut:
Contoh:
Indonesia sebagai negara importer.
1. Terima
asli dokumen lengkap dari eksportir melalui opening
bank, dan kemudian importir mengisi formulir pemberitahuan (PIB) yang
dikeluarkan bea cukai.
2. Syarat-syaratnya
antara lain:
a) Adanya
NPWP, SIUP, API, dll.
b) Surat
Kuasa Importir untuk MKL/Forwarder di atas kertas bermaterai cukup.
c) Importir
harus membayar PPn/PPh/Bea Masuk+Biaya Pengesahan PIB.
d) Mendapatkkan
Nomor Master Perusahaan dari Bea Cukai (diurus Forwarder).
e) Pembayaran
Pajak berdasarkan Tarif Bea Masuk Indonesia (Indonesian
Tariff Book).
3. Langkah-langkah
dalam proses impor:
a) PIB
sudah siap dan semua kewajiban pajak impor sudah dibayar.
b) Ke
kantor Bea Cukai membawa kelengkapan asli dokumen dan bukti Setoran Pajak Lunas
di Bank, NPWP, dll.
c) Kantor
Bea Cukai akan mengijinkan mengeluarkan baranf, kalau ada bukti pemilikan
barang (Bill os Lading), dan barang
keluar dari Gudang Bea Cukai.
d) Barang
keluar melalui dua jalur, jalur Hijau dan jalur Merah.
e) Ambil
D.O. di Maskapai Pelayaran, langsung ke International
Countiner Terminal, untuk mengeluarkan barang dari gudang tersebut.
f) Kalau
Bea Cukai sudah mengeluarkan Surat Perintah Pengeluaran Barang (SPPB), berarti
semua beres.
g) Untuk
angkutan barang dari gudang pelabuhan sampai ke gudang importir ongkosnya
ditanggung importir.
2.2
Strategi
dalam Substitusi Impor
Todaro
& Smith (2006:143) menyatakan bahwa, para penganjur strategi subtitusi impor(import subtitution/IS) percaya bahwa dalam menjalankan proses
pembangunan, negara-negara Dunia Ketiga harus memulainya lewat penggantian
berbagai macam produk kebutuhan yang sebelumnya mereka impor dengan
produk-produk buatan dalam negeri.
Langkah
ini bisa diawali dengan penggantian produk-produk konsumen yang sederhana
(inilah subtitusi pertama), hingga produk-produk manufaktur yang menggunakan
teknologi tinggi (subtitusi impor tahap kedua).Untuk memperlancar usaha-usaha
tersebut, pemerintah dari negara-negara berkembang yang bersangkutan harus
melindungi sektor-sektor domestiknya dengan pengenaan tarif yang tinggi dan
kuota untuk membendung masuknya produk impor yang berpotensi menyaingi
produk-produk domestik.
Dalam
jangka panjang, para penyokong subtitusi impor menonjolkan manfaat dari
diversifikasi industri domestik (“pertumbuhan yang seimbang”) yang lebiih luas
dan kemampuan mengekspor produk-produk manufaktur yang semula diproteksi.
Kemampuan itu sendiri mereka yakini bertolak dari telah tercapainya skala
ekonomis yang memadai, tingkat upah buruh yang murah, adanya eksternalitas
positif dari proses belajar dan bekerja secara bersamaan sehingga produsen
domestik bisa menghasilkan output dengan harga yang lebih bersaing dengan
harga-harga dunia.
Strategi substitusi impor, dikenal juga dengan istilah
strategi “orientasi ke dalam” atau Inward Looking Strategy,yaitu suatu
strategi industrialisasi yang mengutamakan pengembangan jenis industri untuk
menggantikan impor produk-produk sejenis. Pada tahap awal, yang dikembangkan biasanya
adalah industri ringan yang menghasilkan barang-barang konsumtif. Untuk
memungkinkan menjadi besar, industri-industri yang masih bayi (infant
industry) biasanya dilindungi oleh pemerintah atau diproteksi, sehingga
tidak terlalu berat bersaing dengan produk impor, misalnya dengan pengenaan
tarif khusus/pajak impor (tariff barrier). Sehingga harga barang impor
mahal tak dapat bersaing dengan harga barang sejenis buatan dalam negeri.
Walaupun dalam praktik, industri yang diproteksi ini bukannya membesar dan
dewasa malah manja hingga tak maju-maju.
2.2.1 Subtitusi Impor: Berorientasi ke Dalam tetapi
Masih Memandang ke Luar
Todara
& Smith (2006:143-144) menyatakan bahwa, selama dekade 1950-an dan 1960-an,
negara-negara berkembang semakin tertekan menghadapi berbagai masalah ekonomi
yang sangat pelik seperti terus berkurangnya pasar bagi ekspor
komoditi-komoditi primer mereka, serta meningkatnya defisit neraca pembayaran
terutama pada pos neraca transaksi berjalan. Bertolak dari suatu kepercayaan
yang cenderung bersifat naif mengenai kehebatan industrialisasi (misalnya:
iming-iming potensi peningkatan nilai tukar perdagangan seperti yang ditekankan
dalam argumen Prebissh-Singer), perhatian negara-negara berkembang teralihkan
ke suatu strategi yang disebut sebagai strategi industrialisasi subtitusi impor
yang sangat menekankan pada upaya pengembangan sektor-sektor industri di daerah
perkantoran.
Hingga
sekarang, masih banyak negara-negara Dunia Ketiga yang memberlakukan strategi
tersebut, dan hal itu didasarkan pada alasan-alasan dan pertimbangan politis
maupun ekonominya sendiri, meskipun IMF serta Bank Dunia tidak henti-hentinya
mengingatkan besarnya resiko penerapan strategi semacam itu.
Industrialisasi
subtitusi impor adalah serangkaian usaha untuk mencoba mengalihkan
komoditi-komoditi yang semula diimpor, biasanya adalah produk-produk
manufaktur, ke sumber-sumber produksi dan penawaran dari dalam negeri.Tahapan
pelaksanaan stratgei yang pertama biasanya adalah pemberlakuan hambatan tarif (tariff barriers) atau kuota terhadap
impor produk-produk tertentu.Selanjutnya, hal tersebut disusun dengan membangun
industri domestik atau pabrik-pabrik untuk memproduksi barang-barang tersebut,
misalnya saja radio, sepeda, dan alat-alat rumah tangga bertenaga listrik. Hal
tersebut biasanya dilaksanakan melalui kerja sama dengan perusahaan-perusahaan
asing yang didorong untuk membangun kawasan dan unit-unit usahanya di negara
yang bersangkutan, denan dilindungi oleh dinding proteksi berupa tarif. Selain
itu, mereka juga diberi insentif-insentif seperti keringanan pajak, serta
berbagai macam fasilitas dan rangsangan investasi lainnya. Meskipun biaya-biaya
produksi awal mungkin lebih tinggi daripada harga impor, akan tetapi
alasan-alasan ekonomi yang dijadikan landasan bagi pembangunan pabrik-pabrik
yang menghasilkan barang subtitusi impor itu adalah bahwa pada akhirnya
industri tersebut akan membuahkan keuntungan setelah berproduksi pada skala
besar sehingga biaya-biaya lebih murah. Inilah yang biasanya disebut dengan
argumen industri muda (infant industry).
Jika semuanya berjalan dengan lancar, maka pada gilirannya kondisi keuangan
negara yang bersangkutan akan membaik dengan sendirinya, karena barang-barang
konsumsi yang perlu diimpor semakin berkurang. Kombinasi kedua argumen tersebut
sering dikemukakan bersamaan. Pada akhirnya, diharapkan industri yang masih
muda (infant industry) tersebut akan
tumbuh kuat dan mampu bersaing di pasar-pasar dunia. Pada waktunya nanti,
sektor-sektor industri tersebut akan menghasilkan banyak devisa begitu
sektor-sektor itu dapat menurunkan segala biaya produksi rata-ratanya sehinggga
harganya menjadi cukup kompetitif. Sekarang mari kita simak bagaimana teori
proteksi (theory of protection) dapat
menjabarkan keseluruhan proses tersebut secara gamblang.
2.2.2 Argumen Tarif, Industri Muda, dan Teori
Proteksi
Salah
satu mekanisme pokok dalam strategi subtitusi impor adalah pemberlakuan tarif (tariffs) protektif (berupa pajak atau
bea masuk untuk setiap produk impor) atau kuota (quotas) (pembatasan jumlah atau volume produk untuk setiap kurun
waktu tertentu) pada industri subtitusi impor yang akan dioperasikan. Tindakan
inilah yang melandasi beroperasinya industrialisasi subtitusi
impor.Selanjutnya, logika ekonomi dasar atas dilaksanakannya proteksi tersebut
adalah argumen industri muda yang telah disinggung sebelumnya. Menurut argumen
ini, proteksi tarif atas produk-produk impor itu perlu diberlakukan demi
memungkinkan perusahaan-perusahaan lokal pembuat produk sejenis buatan dalam
negeri yang harganya masih lebih mahal itu untuk memperoleh waktu dan
kesempatan yang memadai guna mempelajari seluk-beluk bisnis produk tersebut dan
mencapai segala ekonomis yang cukup besar serta belajar sambil menerapkan
pengalaman-pengalaman dari negara lain untuk menurunkan unit biaya dan harga
jualnya. Dengan waktu dan proteksi yang memadai, maka sektor-sektor industri
muda tersebut pada akhirnya akan berkembang sehingga mampu bersaing dengan
produk-produk sejenis buatan negara-negara lain.
Pada
saat itu, industri tersebut tidak memerlukan proteksi. Pada puncaknya, seperti
yang terjadi di Korea Selatan dan Taiwan, para produsen domestik tersebut akan
mampu memproduksi tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan pasar domestik tarif,
tetapi juga untuk ekspor ke negara-negara lain di seluruh dunia. Hal ini bisa
terwujud karena produsen telah mampu menghaslikan produk tersebut dengan
struktur biaya yang sangat murah sehingga harga yang ditawarkannya sangat
kompetitif dan mampu menembus pasar-pasar eksternal. Jadi, bagi kebanyakan
negara-negara berkembang , setidaknya secara teoritis, stategi industrialisasi
subtitusi impor tersebut dipandang sebagai syarat utama yang harus dipenuhi
sebelum mereka mulai melaksanakan strategi industrialisasi promosi ekspor. Atas
dasar alasan inilah, dan beberapa alasan lainnya (misalnya, keinginan untuk
lebih mandiri di bidang industri manufaktur, kebutuhan untuk membangun industri
domestik, atau sekedar untuk menerapkan tarif demi meningkatkan pemasukan pajak
bagi kas negara), maka banyak pemerintahan negara-negara Dunia Ketiga merasa
tertarik dan menerapkan strategi industrialisasi subtitusi impor tersebut.
Di
atas ini merupakan kurva standar dari penawaran dan permintaan untuk sebuah
sektor industri (misalnya sektor industri sepatu) seandainya di dunia ini tidak
ada perdagangan internasional.Artinya, negara-negara berkembang tersebut adalah
perekonomian tertutup. Titik ekuilibrium atas harga dan kuantitas produksi
negara-negara berkembang itu adalah
dan
. Jika kemudian negara ini membuka
perekonomiannya (terlibat secara aktif dalam kegiatan perdagangan
internasional), peranannya relatif sangat kecil dibandingkan dengan kekuatan
penawaran dan permintaan dunia.Ia tidak akan mampu mempengaruhi harga dan
kuantitas produksi dunia. Oleh karena itu ia menghadapi kurva permintaan yang
elastis sempurna yang disimbolkan dengan bentuk kurva yang horisontal. Dalam
kalimat lain, ia selalu bisa menjual (atau membeli) produk sepatu sebanyak yang
ia inginkan pada tingkat harga yang lebih rendah yang berlaku di pasar dunia
daripada tingkat harga yang berlaku di pasar domestiknya, yaitu
. Jadi, pada tingkat harga dunia
tingkat atau kuantitas permintaan
konsumen akan meningkat, yakni dari
menjadi
. Selisih antara kuantitas yang akan
dipasok oleh produsen domestik pada tingkat harga dunia
yang lebih murah tersebut (
) dan kuantitas yang diminta para
konsumen domestik (
) merupakan jumlah atau kuantitas impor.
Pada Peraga 3-1, kuantitas itu dilambangkan oleh garis ab.
Dihadapkan
pada kemungkinan merosotnya produksi serta lapangan kerja domestik sebagai
akibat dari berlangsungnya perdagangan internasioanal dan bertolak
darikeinginan untuk memperoleh perlindungan bagi industri sepatu domestik, maka
para produsen lokal berusaha mendapatkan dukungan dan bantuan
pemerintahnya.Dampak pengenaan tarif sebesar
nampak pada gambar. Tarif tersebut menyebabkan
harga domestik atas produk sepatu (khususnya sepatu impor) langsung mengalami
kenaikan dari
menjadi
. Dengan demikian
=
(1+
). Para konsumen domestik selanjutnya
harus membayar harga yang lebih tinggi. Oleh karna itu kuantitas permintaan
menurun dari
menjadi
. Produsen domestik dapat mengembangkan
produksinya dari
sampai
.
2.2.3 Strategi Industrialisasi Substitusi Impor dan
Hasil-hasilnya
Sebagian pengamat
sependapat bahwa penerapan stratgi industrialisasi substitusi impor di sejumlah
besar negara-negara berkembang, terutama di negara-negara Amerika Latin telah
menunjukkan ketidakberhasilannya. Secara spesifik, muncul lima dampak negatif
yang tidak diharapkan. Dampak tersebut meliputi:
1. Perusahaan-perusahaan
yang berkecimpung dalam sektor-sektor yang diproteksi itu, ternyata
menyalahgunakan segala perlindungan dan kemudahan yang disediakan pemerintah.
Sehingga operasi bisnisnya menjadi tidak efisien dan terlalu boros.
2. Pengambil
manfaat utama dari proses substitusi
impor adalah perusahaan asing yang sudah beroperasi sejak lama. Mereka paling
mampu untuk mengambil manfaat dari segala kesempatan ekonomis.
3. Upaya
substitusi impor hanya dilaksanakan dengan adanya impor barang-barang modal dan
barang-barang setengah jadi. Impor dilaksanakan oleh perusahaan-perusahaan
asing dan domestik yang sering kali dibiayai dengan subsidi dari pemerintah.
Untuk kasus dari perusahaan asing, sebagian besar impornya merupakan produk
induk prusahaannya dan dari anak perusahaan lainnya yang berada di
negara-negara lain.hal ini membawa dua akibat negatif, yang pertama yaitu
industri substitusi impor kebanyakan merupakan sektor industri padat modal yang
dibangun untuk melayani kebiasaan konsumsi orang-orang kaya, sementara
penciptaan kesempatan kerja baru sangat terbatas. Kedua, jauh dari tujuan untuk
memperbaiki neraca pembayaran negara-negara berkembang, industri substitusi
impor yang kemudian sering kali tidak terkendali itu justru turut memperburuk
kondisi serta disekuilibrium neraca pembayaran.
4. Ditimbulkan
oleh penerapan strategi substitusi impor yaitu meningkatnya tekanan terhadap
ekspor komoditi primer tradisional. Dalam rangka mendorong industri manufaktur
domestik melalui impor barang-barang modal dan setengah jadi yang murah,
pemerintah sengaja menetapkan kurs, patoka nilai bagi Bank Sentral suatu negara
untuk membeli atau menjual mata uang asing-resmi yang berlebihan (overvalued) terhadap mata uang domestik.
Dampak neto yang ditimbulkan oleh penetapan nilai tukar resmi yang berlebihan (overvalued) terhadap kebijakan
substitusi impor adalah meningkatnya penggunaan metode-metode produksi yang
serba padat modal (karena harga impor barang modal telah dibuat menjadi lebih
rendah) sehingga merugikan sektor ekspor komoditi primer tradisional karena
harga ekspor dalam mata uang asing meningkat secara artifisial.
5. Substitusi
impor dalam praktiknya justru sering menghambat industrialisasi itu sendiri.
2.2.4 Struktur Tarif dan Proteksi Efektif
Pemerintah
memberlakukan tarif dan kuota pada barang-barang impor dengan berbagai
alasan.Hambatan tarif sengaja dipancangkan dengan maksud meniingkatkan
pendapatan (pajak) pemerintah. Pada kenyataannya, karena adanya
kesulitan-kesulitan administratif dan politis dalam mengumpulkan pajak-pajak
penghasilan, maka pajak yang dikenakan terhadap impor dengan presentase
tertentu merupakan salah satu cara atau sumber utama peningkatan pendapatan
pemerintah yang termudah dan sangat efisien. Tarif juga dapat berfungsi
menghambat impor barang-barang yang tidak perlu (biasanya barang-barang
konsumsi yang mahal).Dengan adanya pembatasan impor, baik dengan pemberlakuan
kuota ataupun tarif, maka pemerintah negara yang bersangkutan lebih leluasa
dalam melakukan upaya-upayanya untuk memperbaiki keseimbangan dan kondisi
neraca pembayaran.Seperti juga dengan penetapan nilai tukar resmi yang lebih
tinggi dari yang seharusnya, ketentuan tarif juga dapat dipakai untuk
memperbaiki dasar-dasar perdagangan suatu negara.Meskipun demikian, bagi sebuah
negara kecil yang tidak mampu mempengaruhi harga ekspor dan impor di
pasar-pasar internasioanal, validitas argumen penetapan tarif sangat terbatas
dan masih sangat perlu diperdebatkan.
Terlepas
dari alatnya yang digunakan untuk membatasi impor, pembatasan-pembatasan
tersebut selalu melindungi perusahaan domestik dari tekanan-tekanan persaingan
para produsen dari negara-negara lain. Untuk mengukur kadar atau tingkat
proteksi, perlu mempertanyakan seberapa banyak restriksi tersebut dapat
menyebabkan harga-harga barang impor di dalam negeri melebihi harga yang
sebenarnya seandainya proteksi itu tidak ada. Itulah yang dimaksud dengan
kadar, bobot, atau tinggkat proteksi. Ada dua cara pengukuran bobot proteksi,
yaitu, tingkat proteksi nominal dan tingkat proteksi efektif.
Tingkat
proteksi nominal memperlihatkan bobot proteksi (dalam angka-angka persentase)
berdasarkan seberapa jauh protteksi tersebut menimbulkan selisih atau perbedaan
antara harga barag-barang impor di pasar domestik dengan harga yang sebenarnya
akan terjadi bila proteksi itu ditiadakan. Dengan demikian, tingkat tarif
nominal t menunjukkan harga akhir (final) dari komoditi-komoditi yang
bersangkutan.
t=
Adapun p’ dan padalah harga-harga output
industri per unit, masing-masing dengan dan tanpa proteksi.
Sebaliknya,
tingkat proteksi efektif menunjukkan angka-angka persentase atas niali tambah
pada setiap tahapan proses tertentu dalam industri domestik yang melebihi nilai
tambah dalam kondisi tanpa proteksi.
g=
Adapun v’ dan v adalah nilai tambah atas setiap unit output, masing-masing
dengan dan tanpa proteksi tarif.
Sebagian ekonom berpendapat bahwa tingkat proteksi
efektif merupakan suatu konsep yang lebih bermanfaat sebagai ukuran untuk
mengetahui kadar proteksi dan dorongan yang diberikan oleh struktur tarif suatu
negara kepada sektor-sektor industri manufaktur dalam negaranya. Pendapat
tersebut bertolak dari kemampuan tingkat proteksi efektif dalam menunjukkan efek
atau dampak neto yang ditimbulkan oleh proteksi tersebut terhadap masing-masing
perusahaan atas pemberlakuan proteksi tersebut terhadap impor input atau output
industri manufaktur. Bagi kebanyakan negara, baik yang masih berkembang atau
yang sudah maju, tingkat proteksi efektif pada umumnya melebihi tingkat
nominal.
Dari
sekian banyak implikasi yang muncul dari analisis atas struktur tarif efektif
versus tarif nominal di negara-negara berkembang,ada duahal yang penting.
Pertama, kebanyakan pemerintahan di negara-negara berkembang, dalam
melaksanakan pogram-program industrialisasinya, biasanya bertumpu pada strategi
atau langkah-langkah substitusi impor dengan penekanan utama terhadap produksi
barang-barang konsumsi karena pasarnya sudah tersedia.Sebagian penyebab dari
kurang berhasilnya industrialisasi negara-negara berkembang adalah karena
struktur tarif di negara-negara berkembang ternyata jauh melampaui tingkat
produksi sektor industri barang jadi, sedangkan barang-barang setengah jadi dan
barang modal kurang mendapat proteksi yang efektif.
Kedua,
meskipun tingkat proteksi nominal yang ada di negara-negara maju terhadap impor
dari negara-negara berkembang kelihatannya relatif rendah, tetapi sesungguhnya
tingkat proteksi efektifnya cukup tinggi.Impor atas bahan-bahan mentah seperti
biji kakao dan gula biasanya bebas dari pungutan tarif, sementara impor barang
–barang yang diproses (produk olahan alias produk manufaktur), seperti kopi
bubuk, minyak kelapa, mentega, serta coklat siap santap dikenakan tarif nominal
yang kelihatannya rendah. Teori proteksi efektif menunjukkan bahwa jika dikombinasikan dengan tarif
nominal sebesar nol yang dikenakan terhadap bahan-bahan mentah, maka tarif yang
rendah terhadap bahan baku impor akan mencerminkan tarif proteksi efektif yang
cukup besar.
Jadi
ringkasnya,argumentasi standar bagi pemberlakuan proteksi melalui pengenaan
tarif di negara-negara berkembang mempunyai 4 komponen utama, diantaranya:
1.
Pungutan pajak (bea)
dari transaksi-transaksi perdagangan internasional merupakan sumber penghasilan
utama bagi pemerintah dari sebagian negara-negara berkembang.
2.
Larangan impor
merupakan sallah satu bentuk tanggapan atau reaksi terhadap kronisnya masalah
keseimbangan neraca pembayaran dan masalah utang.
3.
Proteksi terhadap
barang-barang impor merupakan cara yang paling penting dalam rangka menumbuhkan
skala ekonomis, eksternalitas positif, serta kemandirian industri dan
menanggulangi masalah ketergantungan ekonomi yang dihadapi oleh negara-negara
Dunia Ketiga pada umumnya.
4.
Dengan melaksanakan
pembatasan impor, negara-negara berkembang lebih dapat menentukan kondisi dan
masa depan perekonomiannya sendiri, sambil mendorong pengusaha asing menanamkan
modalnya secara langsung pada sektor-sektor industri substitusi impor di dalam
negeri agar menghasilkan keuntungan yang lebih banyak, sehingga dengan demikian
meningkatkan potensi tabungan domestik dan pertumbuhan ekonomi di masa-masa
yang akan datang.
2.3
Kendala-Kendala
yang Dihadapi dalam Pelaksanaan Impor
2.3.1
Timbulnya
Substitusi Impor
Pada
umumnya negara sedang berkembang (NSB), memajukan industrialisasi di negaranya
dengan harapan akan meningkatkan kesejahteraan rakyatnya. Industrialisasi
dilakukan melalui dua cara, yaitu substitusi impor dan diversifikasi impor.
Penyelenggaraan industrialisasi membutuhkan banyak perlengkapan kapital, akan
tetapi kebanyakan negara sedang berkembang belum mampu membuat perlengkapan
kapital secara mandiri. Untuk memenuhi kebutuhan perlengkapan kapital, negara
akan mengekspor barang primernya agar dapat mengimpor dengan barang kapital.
Jadi perekonomian negara sedang berkembang dibangun atas dasar ekspor produksi
barang impornya.Kebutuhan barang kapital negara sedang berkembang berkelanjutan
dengan kebutuhan negara maju untuk memelihara kelangsungan produksi
barang-barang primer.Karena terlalu fokus pada produksi primer untuk diekspor,
negara berkembang mengalami ketidakstabilan pendapatan dalam pembangunan
ekonominya. Ketidakstabilan pendapatan ini disebabkan oleh:
a) Persaingan
barang impor semakin besar.
b) Nilai
tukar barang impor negara berkembang rendah.
c) Fluktuasi
harga produksi primer di pasar dunia.
Untuk mengatasi
kesulitan pendapatan devisa dan penggunaannya, substitusi impor dan
diversifikasi ekspor merupakan cara baik mengatasi masalah tersebut. Melalui
diversifikasi ekspor negara tidak hanya terpaku pada satu atau dua macam barang
ekspor, sehingga bila terjadi kerugian pada satu barang dapat diimbangi dengan
keuntungan dari barang lainnya. Karena dasar tukar barang industri lebih tinggi
dari barang produksi primer, negara dapat menghasilkan sendiri barang
kebutuhannya, hal tersebut akan mengurangi pengeluaran. Masalah yang terjadi
pada ekspor industri primer mengakibatkan kenaikan ekspor lebih lambat daripada
kenaikan impor. Ini disebabkan oleh elastisitas pendapatan lebih rendah akan
permintaan impor terhadap barang produksi primer. Rendahnya elastisitas
pendapatan terhadap impor produksi primer di negara maju disebabkan oleh:
a) Kenaikan
produksi barang primer di negara maju.
b) Perubahan
pola konsumsi yang menurunkan hasrat mengkonsumsi.
c) Kemajuan
teknologi yang mengurangi kebutuhan bahan baku.
d) Perkembangan
bahan sintetis.
e) Diberlakukan
peraturan yang membatasi impor barang produksi impor
Tingginya elastisitas pendapatan terhadap impor barang
produksi di Negara berkembang disebabkan oleh:
a) Bertambahnya
jumlah penduduk dan berlakunya efek pamer internasional.
b) Kebutuhan
barang produksi semakin besar.
c) Usaha
meningkatkan hasil produksi primer guna meningkatkan pendapatkan devisa.
d) Dorongan
untuk mendirikan industry subtitusi impor dan industry ekspor
Berhasilnya pembangunan ekonomi negara maju dimulai dengan
industrialisasi dengan menciptakan produk untuk memenuhi kebutuhan dalam
negeri. Setelah subtitusi berhasil, sebagian hasilnya diekspor ke luar negeri
dan ditukarkan dengan barang kebutuhan pembangunan. Negara berkembang selain
mengimpor barang industri juga mengekspor bahan makanan. Industri subtitusi
impor memerlukan banyak banyak alat dan mesin serta bahan makanan. Dalam
pelaksanaannya dibutuhkan banyak devisa untuk mengimpornya dan memicu
dinaikkannya pendapatan sektor ekspor. Kalau negara tidak berhasil menaikkan
pendapatan ekspornya, terpaksa harus mengadakan pinjaman luar negeri. Pada
awalnya industrialisasi didasarkan atas pasar dalam negeri dalam bentuk barang
substitusi impor. Adanya pasar tersebut mendorong industry substitusi impor
berkembang lebih pesat apabila disertai suatu proteksi sehingga akan menghemat
penggunaan devisa. Devisa yang dihemat dapat digunakan untuk mengimpor barang
kapital dan barang lainnya yang belum dapat diproduksi sendiri.
2.3.2
Kendala-Kendala
pada Pelaksanaan Substitusi Impor
Permasalahan struktural
pada industri Indonesia yakni:
· Tingginya tingkat
konsentrasi dalam perekonomian dan banyaknya monopoli, baik yang terselubung
maupun terang-terangan pada pasar yang diproteksi.
· Dominasi kelompok bisnis
pemburu rente (rent-seeking) ternyata belum memanfaatkan keunggulan
mereka dalam skala produksi dan kekuatan finansial untuk bersaing di pasar
global.
· Lemahnya hubungan intra
industri, sebagaimana ditunjukkan oleh minimnya perusahaan yang bersifat
spesialis yang mampu menghubungkan klien bisnisnya yang berjumlah besar secara
efisien.
· Struktur industri
Indonesia terbukti masih dangkal, dengan minimnya sektor industri menengah.
· Masih kakunya BUMN
sebagai pemasok input maupun sebagai pendorong kemajuan teknologi.
· Investor asing masih
cenderung pada orientasi pasar domestik (inward oriented), dan sasaran usahanya
sebagian besar masih pada pasar yang diproteksi.
Selain itu struktur industri di Indonesia
cenderung oligopolistik dengan alasan sebagai berikut:
· Adanya proteksi (tata
niaga)
· Besarnya modal yang diperlukan
untuk investasi
· Tingginya teknologi yang
digunakan
Secara
sederhanapermasalahan yang dihadapi dalam usaha meningkatkan substitusi impor antara
lain:
a) Kualitas
barang yang dihasilkan.
Kebanyakan kualitas barang yang
dihasilkan dalam negeri sering kali lebih rendah dibandingkan barang impor.
Kualitas yang rendah akan menurunkan kepercayaan konsumen di luar negeri.
b) Biaya
produksi.
Pada tahap awal industrialisasi
membutuhkan banyak modal dan capital yang dibutuhkan juga banyak.Langkanya
faktor capital pada Negara berkembang memaksa untuk mendatangkan capital dan
tenaga ahli dari luar negeri.Sebagai hasil dari multplier effeck itu tidak
dapat ditekan biaya produksinya, sehingga mengakibatkan harga lebih mahal
dibanding produk impor.
c) Efisiensi
alokasi faktor produksi.
Dalam suatu perkembangan ekonomi
diperlukan berbagai macam faktor, antara lain: faktor kapital, faktor tenaga
kerja, faktor sumber daya alam, serta faktor wiraswasta dan teknologi.
d) Kapital.
Pada Negara
berkembang, faktor kapital merupakan faktor langka. Namun seringkali
penggunaannya kurang efisien. Untuk mendorong mandirinya industri substitusi
impor dapat diterapkan proteksi.
e) Tenaga
kerja.
Angkatan tenaga
kerja negara berkembang pada umumnya kurang terdidik. Untuk mengatasinya perlu
mendidik tenaga kerja yang ada ataupun dengan mendatangkan tenaga ahli dari
luar negeri. Namun mendatangkan tenaga ahli dari luar seringkali mengkonsumsi
kapital.
f) Sumber
daya alam.
Negara berkembang
mempunyai sumber daya alam yang potensial. Namun baru sedikit yang diolah.
Untuk mengolahnya membutuhkan teknologi dan kemampuan wiraswasta yang memadai.
Hendaknya dipilih secara selektif sumber daya mana saja yang potensial
mendukung perekonomian.
g) Wiraswasta
dan teknologi.
Jumlah wiraswasta
masih belum tercukupi, ini karena mungkin terbentur oleh keadaan sosial-budaya,
sistem politik, ataupun adat-istiadat setempat. Penggunaan wirasawasta harus
seefisien mungkin dengan pertimbangan berbagai alternative.
2.3.3
Motif-motif
Substitusi Impor
Berikut ini merupakan
motif-motif dari strategi substitusi impor:
a) Bagi
negara berkembang, substitusi impor dimaksudkan untuk mengurangi atau menghemat
penggunaan devisa. Devisa merupakan barang langka bagi negara berkembang, maka
dalam penggunaannya harus selektif. Penggunaan devisa lebih ditekankan pada
proyek-proyek yang mengurangi devisa namun memberikan hasil cukup dan dapat
menambah penghasilan devisa.
b) Substitusi
impor timbul bila pemerintah suatu negara berusaha memperbaiki neraca
pembayarannya, baik melalui kuota maupun tarif. Kebijakan macam ini akan
mengurangi jumlah barang impor namun permintaannya masih besar. Negara akan
berinisiatif untuk menghasilkan barang pengganti. Hal ini akan meningkatkan
keuntungan sektor industri.
c) Beberapa
negara mengadakan industrialisasi dengan tujuan memenuhi kebutuhan dalam negeri
dan adanya semangat kemerdekaan cinta produk dalam negeri. Keadaaan ini
mendorong timbulnya substitusi impor pada barang konsumsi pokok maupun barang
kapital. Jadi industri substitusi impor dalam kasus ini tidak terlalu
mempertimbangkan biaya, yang penting tujuan politis dapat tercapai melalui
usaha sendiri.
d) Anggapan
bahwa industri subtitusi impor bukan untuk mengurangi atau mengganti barang
impor, namun karena pemerintah bertujuan untuk mengembangkan perekonomian dalam
negeri.
Adanya substitusi impor
akan diperoleh keuntungan, berupa penghematan devisa atau pertumbuhan
infrastruktur. Kadang kenyataan tidak sama dengan konsep teori. Walaupun
menurut teori menguntungkan, pada kenyataannya hasil yang dicapai tidak seperti
harapan.Ini dikarenakan ada permasalahan dalam menghasilkan substitusi impor.
2.4
Kebijakan-Kebijakan
di Bidang Impor
Kebijakan
di bidang impor meliputi:
1. Tarif
perdagangan
Perpajakan yang
dikenakan dalam transaksi perdagangan merupaka hal yang sudah lama sekali
dikerjakan bahkan sama tuanya dengan perdagangan itu sendiri. Khusus mengenai
tariff, biasanya terkandung maksud yaitu untuk sumber penghasilan Negara, alat
melaksanakan proteksi, dan perbaikan neraca pembayaran. Tarif disini memiliki
arti daftar segala jenis barang-barang yang dikenakan beban pajak, baik pajak
impor maupun ekspor, ataupun berupa pajak transit (pajak yang dikenakan atas
barang yang melalui Negara tersebut, tetapi tujuan yang sebenarnya ialah Negara
lain).
Suatu Negara yang ingin
menggunakan tariff sebagai instrument kebijakan perdagangan akan menghadapi
berbagai masalah yang harus diselesaikan, yaitu sistem perhitungan beban tariff
yang dikenakan pada barang-barang. Biasanya ada tiga kemungkinan:
a. Advalorem,
yaitu pajak yang dikenakan atas dasar prosentase dari harga barang-barang yang
diimpor.
b. Special
duties, yaitu bila pajak itu dipungut atas dasar jumlah atau volumenya.
c. Compound
duty atau specific advalorem, yaitu gabungan antara cara pertama dan cara
kedua.
2. Kuota
Selain
tariff yang banyak menjadi alat kebijakan perdagangan, masih banyak cara lain
kadang-kadang lebih efektif daripada tariff, diantaranya ialah macam-macam
kuota impor yang meliputi:
a. Unilateral
kuota, yaitu penetapan jumlah impor yang diperbolehkan dalam suatu Negara yang
tanpa konsultasi atau tanpa perjanjian, baik bersifat bilateral maupun
multilateral, dengan Negara-negara lai.
b. Licencing
kuota, yaitu suatu cara mengatur jatah impor dengan mengeluarkan surat-surat
ijin tertentu atau lisensi agar jumlah impor yang terbatas itu dapat menemui
sasaran yang tepat, baik pada importer yang dianggap tepat ataupun jenis
barangnya.
c. Tariff
kuota, yaitu jenis kuota impor yang menghendaki sebelum jumlah impor yang
ditentukan tercapai, maka setiaptransaksi impor tidak dikenakan tariff atau
hanya dengan tariff yang rendah.
d. Voluntary
export kuota, yaitu pembatasan ekspor yang dilakukan oleh Negara eksportir
sendiri setelah mengadakan perjanjian dengan Negara importir mengenai
jenis-jenis barang tertentu.
BAB
III
KESIMPULAN
3.1 Impor adalah suatu kegiatan dalam perdagangan
dengan cara membeli atau mendatangkan barang dari luar negeri untuk dimasukkan
ke dalam negeri.
3.2 Para penganjur
strategi subtitusi impot (import
subtitution/IS) percaya bahwa dalam menjalankan proses pembangunan,
negara-negara Dunia Ketiga harus memulainya lewat penggantian berbagai macam
produk kebutuhan yang sebelumnya mereka impor dengan produk-produk buatan dalam
negeri.
3.3 Kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan impor
meliputi permasalahan
struktural pada industri Indonesia dan selain itu struktur industri di Indonesia
cenderung oligopolistik.
3.4.
Kebijakan di bidang impor meliputi tariff
perdagangan dan kuota.
DAFTAR
RUJUKAN
Ashjar,
D. & Amirullah. 2002. Teori dan Praktek Ekspor Impor. Yogyakarta: Graha
Ilmu.
Rachbini,
D. J. 2004. Ekonomi Politik. Kebijakan dan Strategi Pembangunan. Jakarta:
Granit.
Todaro,
M.P. & Smith, S. C. 2006. Pembangunan Ekonomi. Edisi Kesembilan. Jilid 2.
Alih Bahasa: Andri Yelvi. Jakarta: Erlangga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar